Menag : Pers, Navigator Gerak Langkah Bangsa
By Admin
nusakini.com--Pers sebagai pilar keempat demokrasi adalah navigator gerak langkah bangsa. Opini publik yang tersaji di media sangat menentukan ke mana bangsa ini mengarah.
Ketika jurnalis terlalu berat sebelah terhadap ideologi tertentu dan mengamplifikasinya, maka masyarakat akan terbelah ke dalam dua potongan besar; satu bagian mengikuti tren yang dikembangkan media, satu lagi menentang arahan media lalu mengekspresikan sikapnya dengan berbagai cara.
"Di titik inilah konflik rentan terjadi, seperti yang kita rasakan setiap kali Pilpres dan Pilkada di mana media darling mendapatkan perlawanan keras dari kelompok lain. Yang terjadi kemudian, semakin banyak pihak terlibat konflik dan lupa pada cita-cita bersama yang disepakati dalam konstitusi," demikian disampaikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat menyampaikan orasi kebudayaan Kebhinekaan dan Keberagaman Indonesia pada peringatan ulang tahun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang ke-22 di Jakarta, Jumat (26/8).
Menag mengatakan, tentu tidak mudah menyadari di mana posisi kita. Terutama di era sekarang, era digital yang bisa bikin gatal bahkan rentan hilang akal. Kita berada di dunia yang tanpa batas karena semua orang bisa terhubung di mana saja dan kapan saja melalui peranti digital secara bebas. Dalam segi positif keterhubungan itu bisa memudahkan kesalingpahaman antarbudaya.
"Tetapi ketiadaan batas itu juga berisiko membuka lebar pertarungan hegemonik terkait ideologi, ekonomi, dan politik yang bisa berujung konflik," ucap Menag.
Seperti konflik yang dipicu karena perilaku intoleransi, ujar Menag, kita sering gagal fokus memahami persoalan intoleransi di berbagai daerah. Intoleransi sering dikaitkan dengan unjuk kekuatan mayoritas terhadap minoritas. Padahal intoleransi hanya bisa terjadi jika kita kehilangan sikap tepa selira dan tenggang rasa yang maknanya lebih luas dari sekadar kata simpati dan empati. Atau, menuding musabab konflik pendirian rumah ibadah adalah Peraturan Bersama Menteri sehingga memaksa Pemerintah untuk mencabut regulasi itu.
Padahal, lanjut Menag, PBM tentang Pendirian Rumah Ibadah adalah produk kesepakatan para perwakilan majelis-majelis agama yang kemudian dilegalkan oleh Pemerintah untuk menjadi aturan bersama guna menghindari konflik. Pada kenyataannya, tandas Menag, hampir semua kasus sengketa pendirian rumah ibadah justru disebabkan ketidakpatuhan terhadap regulasi bersama tersebut.
Walhasil, Menag menegaskan, keadilan harus kita tegakkan. Adil dalam arti setiap orang dapat menikmati haknya tanpa mencederai orang lain. Setiap orang dapat merasakan hak atas ekspresi kebebasan asalkan paham batasnya. Adil dalam memberikan ruang bagi para pihak yang sedang berupaya mencari titik temu dari perbedaan.
Organisasi jurnalis seperti AJI, menurut Menag, potensial menjadi agen perubahan yang mempertautkan segala perbedaan agar menjadi harmoni yang indah. Dengan tetap bertumpu pada profesionalitas, AJI dapat menjadi promotor kebudayaan yang dapat memajukan peradaban Indonesia lebih berkualitas.
"Independensi AJI dapat menjadi teladan dalam menyemai nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari mana pun, dari agama yang luhur dan juga ajaran para leluhur. Toh, diakui atau tidak, dalam kondisi tertentu jurnalis mengemban tugas suci seperti nabi. Yakni, menjadi juru penerang yang menyampaikan fakta kebenaran sekaligus juru damai yang mendorong tercapainya kedamaian," terang Menag.
Namun, Menag menambahkan, sebelum menjadi pemandu arah bagi publik, hal terbaik adalah memulai dari diri sendiri. Menurut Menag, AJI harus lebih menampilkan diri sebagai laboratorium keberagaman. Sebuah kawah candradimuka yag membentuk jurnalis sebagai perawat indahnya keberagaman.
"Jurnalis yang pada dasarnya berasal dari masyarakat harus mampu merepresentasikan nilai-nilai yang baik dan mencerahkan bagi masyarakat yang beragam. Tahap berikutnya, AJI harus semakin kencang mendorong terciptanya ruang redaksi yang multikultural sebagai etalase kehidupan masyarakat yang berperadaban tinggi," kata Menag.
Selanjutnya, Menag mendorong, di era digital ini AJI harus berada di garda terdepan untuk menemukan model bisnis media dan pola kerja jurnalis yang tepat dalam menjaga mutu pers Indonesia. Karena, menurut Menag, tantangan bagi AJI bukan lagi semata rezim yang suka membungkam media massa, tapi juga kecerewetan dan keruwetan media sosial.
"Kita sadar, jurnalis dan media massa bukan lagi pilihan utama sumber informasi bagi publik. Ada media sosial yang kadang memerankan fungsi media dan netizen yang memerankan kerja jurnalis. Alhasil, tantangan jurnalis di zaman serba digital ini bukan lagi semata menjaga marwah profesi, tapi sudah pada tahap mempertahankan nyawa profesi," ucap Menag.
Satu lagi, Menag menambahkan, AJI harus lebih membumi supaya dapat menancapkan pengaruhnya lebih pasti. Perlu diperluas interaksi dengan para pemangku kepentingan di berbagai institusi. Idealisme yang membumi tak hanya memerlukan kaki-kaki, tapi juga mensyaratkan strategi bersinergi dengan pemangku kepentingan seantero negeri.
Tampak hadir dalam perayaan HUT ke-22 AJI, Menkominfo Rudiantara, Kepala Divisi Humas Polri IrjenBoy Rafli Amar, Ketua Dewan Pers osep Adi Prasetyo (Stanley), Pgs. Kepala Pusat Informasi dan Humas Syafrizal, sejumlah tokoh pers, tokoh masyarakat, budayawan, pemimpin media serta para praktisi komunikasi. (p/ab)